Hi,
Bangunan sekolah ini sudah banyak yang
berubah, tapi tidak dengan kenangan yang tersimpan di dalamnya. Dimana, setiap
sudut sekolah telah terukir kisah kita bersama. Bersama siapa? Tentunya bersama
teman-teman satu kelas kita dahulu. Yang saat ini, mereka telah memiliki dan
mengukir kisah mereka masing-masing. Bagaimana dengan kita? Kita? Ah, lucu
sekali. Kenapa dengan PDnya aku menyebut kata “Kita?” memang siapa “kita?”
heuheu..
Jangan kita deh, kamu aja. Oh iya,
bagaimana kabarmu? Masih sehat? Semoga saja ya. Aamiin
Waktu yang ku lalui bersama mu memang cukup
lama, saat itu kamu begitu “nakal”. Selamat, kamu udah jadi orang yang sangat
aku benci, 6 tahun lamanya. Semua itu karena ulahmu, jika saja kamu tak berulah
seperti dulu, mungkin kita selalu berdamai. Tapi tidak, itulah kamu. Sang Trouble
Maker yang tiada hari tanpa ulahmu. Masih ingat kah ketika kamu membuatku
menangis, hingga akhirnya kamu dihukum oleh guru B. Indonesia untuk menjewer
telingamu sendiri di depan kelas hingga mata pelajaran usai? Masih ingat?
Jujur, aku sangat membencimu dan lebih membencimu. Tapi kamu tak pernah
berubah, meskipun berkali-kali dapet hukuman, plus dibenci, tetap saja kamu
mencari gara-gara. Ah, masa lalumu. Kamu terkenal bandel, tapi jujur, awal
masuk SMP itu perlahan rasa benciku hilang. Mungkin aku merasa rindu dengan
segala ulahmu. Aku yang terbiasa kamu jadikan “korban” kelakuan jailmu, juga
aku yang terbiasa menghadapimu dengan penuh kebencian. Rasa muak seringkali
muncul, berharap dan berharap kita tidak dipertemukan lagi setelah lulus dari
sekolah ini. Tapi, di sekolah baru ini, aku tidak menemukan orang sepertimu.
Aku rindu, rindu sekali.
Saat itu aku masih terlalu muda untuk
menyatakan bahwa ini adalah perasaan cinta. Meskipun teman sebaya mengatakan,
itu Cinta Monyet. Ah, bagaimana bisa perasaan ini dialami oleh seseorang tapi
dibilang ini cinta monyet? Lucu :v. Jujur, aku menyukaimu. Saat itu, aku
mendengar kabar, kelakuanmu di sekolah baru pun makin menjadi-jadi. Kamu sudah
berani punya pacar. Wajar sih, anak band di kalangan anak-anak SMP kala itu
“uwow” banget, terus kamu juga jago taekwondo. Kurang apa coba? -_-
Aku yang tau kabar itu, mencoba untuk diam
saja. Mau bilang aku suka kamu? Hah, mustahil. Apa kata kawan SD misal tau aku
suka kamu? Musuh bebuyutan bisa jatuh cinta? Yasudahlah… pasrah aja sih. Tapi,
di tahun ke 2, entah bagaimana ceritanya aku bisa deket sama kamu, disaat kamu
tetap masih punya pacar. Ulala -_-
Cerita berakhir di tahun ke dua. Kita lost
contact. Aku sudah tidak lagi tau tentangmu. Sekedar tau kabar pun tidak,
apalagi bertemu. Tapi, aku masih suka kamu.
Hei kamu,
Masih ingatkah di tahun ke dua pula, saat
itu kita sudah SMA dan kita tetap di sekolah yang berbeda. Mungkin memang kita
ditakdirkan untuk tidak bersama di satu institusi, takut berantem lagi, hehe.
Saat itu kamu coba contact aku lagi. Jujur, aku jutek dan ketus banget sama
kamu. Tapi kamu gigih untuk coba berdamai. Kau tawarkan aku untuk mejadi
sahabatmu. It was accepted! Ya, mungkin karena saat itu, aku sudah mulai berfikir
lebih bijak untuk berdamai denganmu. Jujur, berteman denganmu saat itu, aku
hanya ingin kamu bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari bayanganku
disaat kita musuhan dulu. Karena aku yakin, kamu orang yang gigih. Kamu orang
yang bisa di andalkan juga kamu memiliki potensi yang cukup besar untuk
berkembang.
Masih ingatkah, petemanan kita semakin
dekat. Aku suka dengan segala perubahanmu. Kamu sudah sangat jauh lebih baik
dari kamu yang pertama aku kenal. Tapi tetap saja, kamu tidak bisa mengalah, selalu
saja maunya kamu lebih unggul dari aku. It’s okey. It doesn’t matter.
Masih ingat kah ketika kita adu passing grade saat Try Out masuk
universitas. Ya, kamu menang 1 dari aku. Itu cukup membuatmu bahagia bukan? Aku
pun begitu. Wajar sih, aku akui semangat belajarmu cukup tinggi. Aku aja yang
kamu ajari rumus matematika susah ngerti, hehe. Emang dari sananya aku engga
pernah suka matematika.
Cinta monyetku,
Satu hal yang sangat aku ingat, kamu adalah
satu-satunya orang yang tak pernah membuat aku menunggu. Kamu teman paling
romantis dan selalu menepati janji. Kamu teman lelaki terbaik yang pernah ada.
Sepertinya ini kedekatan kita yang
terakhir, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk kuliah di Bandung. Pernah kau
berpesan, agar aku melanjutkan kuliahku di tempat ini saja, tempat dimana aku
kuliah sekarang. Lantas aku tinggalkan semua kampus yang dulu sempat aku akan
belajar disana. Demi kata hati, demi keyakinan, dan tentu atas saranmu.
Minggu ketika kau akan pergi, sepertinya
kau akan pergi jauh. Bisa jadi jauh sekedar jarak atau jauh dari hubungan
pertemanan kita. Saat itu, ragu sebenarnya ketika aku memutuskan ini padamu.
Namun, keinginan kuat, kata hati ini, memaksaku untuk segera memutuskan. Entah
dia tahu atau tidak, perasaan ini semakin yakin dan yakin. Mengakhiri semua ini
bukan hal yang mudah. Entah berujung keterpaksaan atau keikhlasan, mau tidak
mau aku memaksamu dapat menerima keputusanku.
Kamu tak pernah memintaku untuk menunggu.
Aku juga tak pernah berjanji akan menantimu. Tapi, aku memutuskan untuk
menghapus dirimu dari semua kontakku. Saat itu, aku takut kepada Tuhanku. Aku
memaksamu ‘ikhlas’ untuk waktu yang cukup lama. Terkait kau menerima atau
tidak. Itu bukan urusanku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita
masing-masing. Aku takut perasaan ini semakin jauh sedangkan aku tidak siap
dengan segala konsekuensi. Misal, patah hati.
Untukmu, laki-laki itu.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar
tanpa kabar darimu. Hingga ada beberapa nama yang sempat singgah, namun tak
bisa menghapuskan namamu dalam ingatanku. Seolah-olah, Tuhan memaksaku berulang
kali untuk sabar dan sabar menunggu. Ia hadirkan banyak sekali ujian, entah itu
ujian dalam bentuk apa saja yang membuatku berbalik arah dan kembali padamu.
Ingat lagi padamu. Seolah aku sedang menunggu kedatanganmu, tapi aku sadar,
kamu tidak memintaku untuk menunggu juga aku tidak mengatakan aku akan menanti.
Lantas, sedang apa aku saat itu?
Masa berganti, tak terasa urusanku disini
telah usai. Aku harus melepaskanmu, aku harus mengikhlaskanmu. Bukan berarti
aku tak cinta, bukan berarti aku tak mengaharap kamu kembali. Tapi karena
kuatnya cinta ini padamu, maka ku ikhlaskan cinta ini kepada Tuhanku. Karena
aku percaya, jika memang aku adalah tulang rusukmu, maka inilah skenario Tuhan
yang luar biasa, yang sengaja Ia hadirkan untuk menjadi pelangi ketika sang
hujan bergegas pergi meninggalkan langit yang sendu. Namun, jika kamu bukanlah
takdirku, aku pun tak akan mempermasalahkan itu. Karena sejatinya, Ia tahu
benar apa yang terbaik untuk kita.
Aku tak menyesal telah mengenalmu, telah
mengukir kenangan panjang bersamamu, hingga kamu berhasil membuatku tak bisa
menghapus ingatan tentangmu. Jujur, aku masih sering bertemu denganmu, dalam
mimpi. Meskipun begitu, satu hal yang harus kamu tau, aku tak pernah
bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakan hal yang sama denganku. Bukan aku
tidak peduli, aku hanya tak ingin menghalangi langkahmu yang akan menjadi baik.
Lagi-lagi, karena aku percaya, ketentuanNya adalah yang terbaik.
Aku tak lagi risau seperti saat itu,
seolah-olah, ketika urusanku disini telah berakhir, maka berakhir pula hiduku.
Lantas aku tergesa-gesa memutuskan dan mengabaikan perintah Tuhanku. Sungguh,
betapa naif diri ini. Tidak berkaca dan bertindak tegas disaat orang lain
mencoba untuk mematahkan prinsip hidupku. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang
kau dustakan? Ia sangat menyayangiku. Ia sadarkanku, bahwa aku harus ikuti kata
hatiku tanpa malu untuk menjunjung tinggi prinsip hidup yang tak bertentangan
dengan aturan Tuhanku.
Untukmu, lelaki itu.
Berjalanlah kemanapun kakimu akan
melangkah. Karena aku yakin, jika kamu adalah takdirku, meski kita berbeda
arah, maka kita akan bertemu di satu titik. Dimana semesta yang akan menjadi
saksi, bahwa tak ada satu hal baik pun yang kita lakukan sia-sia. Percayalah,
takdir terbaik akan menghampirimu dan bagaimana nantinya kita, pasrahkan saja
kepada Allah, Dia Maha tahu betul apa yang terbaik untuk kita, akan bersama
atau tidak, aku sudah tidak peduli seperti dulu. Insyaallah diikhlaskan J
Salam santun,
Venus**
5 comments
Cinta monyetnya awet ya kak...Setuju deh... sama pendapat... kalau sudah takdirnya pasti ketemu lagi kok...
Kaya lagunya Afgan Jodoh Pasti Bertemu...
lagi dan lagi sungguh menginspirasi. jd malu sendiri saya ....🙍🙍🙍
hehehe, jodoh pasti bertemu dek, cuma 2 kemungikan, pertama bertemu di dunia, kedua bertemu di akhirat.
Hehe, terimakasih kak. Semoga bermanfaat ya.
EmoticonEmoticon