Saturday, October 15, 2016

Surat Terbuka Untuk Cinta Moyetku

Tags



Hi,

Bangunan sekolah ini sudah banyak yang berubah, tapi tidak dengan kenangan yang tersimpan di dalamnya. Dimana, setiap sudut sekolah telah terukir kisah kita bersama. Bersama siapa? Tentunya bersama teman-teman satu kelas kita dahulu. Yang saat ini, mereka telah memiliki dan mengukir kisah mereka masing-masing. Bagaimana dengan kita? Kita? Ah, lucu sekali. Kenapa dengan PDnya aku menyebut kata “Kita?” memang siapa “kita?” heuheu..

Jangan kita deh, kamu aja. Oh iya, bagaimana kabarmu? Masih sehat? Semoga saja ya. Aamiin
Waktu yang ku lalui bersama mu memang cukup lama, saat itu kamu begitu “nakal”. Selamat, kamu udah jadi orang yang sangat aku benci, 6 tahun lamanya. Semua itu karena ulahmu, jika saja kamu tak berulah seperti dulu, mungkin kita selalu berdamai. Tapi tidak, itulah kamu. Sang Trouble Maker yang tiada hari tanpa ulahmu. Masih ingat kah ketika kamu membuatku menangis, hingga akhirnya kamu dihukum oleh guru B. Indonesia untuk menjewer telingamu sendiri di depan kelas hingga mata pelajaran usai? Masih ingat? Jujur, aku sangat membencimu dan lebih membencimu. Tapi kamu tak pernah berubah, meskipun berkali-kali dapet hukuman, plus dibenci, tetap saja kamu mencari gara-gara. Ah, masa lalumu. Kamu terkenal bandel, tapi jujur, awal masuk SMP itu perlahan rasa benciku hilang. Mungkin aku merasa rindu dengan segala ulahmu. Aku yang terbiasa kamu jadikan “korban” kelakuan jailmu, juga aku yang terbiasa menghadapimu dengan penuh kebencian. Rasa muak seringkali muncul, berharap dan berharap kita tidak dipertemukan lagi setelah lulus dari sekolah ini. Tapi, di sekolah baru ini, aku tidak menemukan orang sepertimu. Aku rindu, rindu sekali.

Saat itu aku masih terlalu muda untuk menyatakan bahwa ini adalah perasaan cinta. Meskipun teman sebaya mengatakan, itu Cinta Monyet. Ah, bagaimana bisa perasaan ini dialami oleh seseorang tapi dibilang ini cinta monyet? Lucu :v. Jujur, aku menyukaimu. Saat itu, aku mendengar kabar, kelakuanmu di sekolah baru pun makin menjadi-jadi. Kamu sudah berani punya pacar. Wajar sih, anak band di kalangan anak-anak SMP kala itu “uwow” banget, terus kamu juga jago taekwondo. Kurang apa coba? -_-
Aku yang tau kabar itu, mencoba untuk diam saja. Mau bilang aku suka kamu? Hah, mustahil. Apa kata kawan SD misal tau aku suka kamu? Musuh bebuyutan bisa jatuh cinta? Yasudahlah… pasrah aja sih. Tapi, di tahun ke 2, entah bagaimana ceritanya aku bisa deket sama kamu, disaat kamu tetap masih punya pacar. Ulala -_-

Cerita berakhir di tahun ke dua. Kita lost contact. Aku sudah tidak lagi tau tentangmu. Sekedar tau kabar pun tidak, apalagi bertemu. Tapi, aku masih suka kamu.

Hei kamu,
Masih ingatkah di tahun ke dua pula, saat itu kita sudah SMA dan kita tetap di sekolah yang berbeda. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk tidak bersama di satu institusi, takut berantem lagi, hehe. Saat itu kamu coba contact aku lagi. Jujur, aku jutek dan ketus banget sama kamu. Tapi kamu gigih untuk coba berdamai. Kau tawarkan aku untuk mejadi sahabatmu. It was accepted! Ya, mungkin karena saat itu, aku sudah mulai berfikir lebih bijak untuk berdamai denganmu. Jujur, berteman denganmu saat itu, aku hanya ingin kamu bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari bayanganku disaat kita musuhan dulu. Karena aku yakin, kamu orang yang gigih. Kamu orang yang bisa di andalkan juga kamu memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang.

Masih ingatkah, petemanan kita semakin dekat. Aku suka dengan segala perubahanmu. Kamu sudah sangat jauh lebih baik dari kamu yang pertama aku kenal. Tapi tetap saja, kamu tidak bisa mengalah, selalu saja maunya kamu lebih unggul dari aku. It’s okey. It doesn’t matter. Masih ingat kah ketika kita adu passing grade saat Try Out masuk universitas. Ya, kamu menang 1 dari aku. Itu cukup membuatmu bahagia bukan? Aku pun begitu. Wajar sih, aku akui semangat belajarmu cukup tinggi. Aku aja yang kamu ajari rumus matematika susah ngerti, hehe. Emang dari sananya aku engga pernah suka matematika.

Cinta monyetku,
Satu hal yang sangat aku ingat, kamu adalah satu-satunya orang yang tak pernah membuat aku menunggu. Kamu teman paling romantis dan selalu menepati janji. Kamu teman lelaki terbaik yang pernah ada.
Sepertinya ini kedekatan kita yang terakhir, sebelum akhirnya kau memutuskan untuk kuliah di Bandung. Pernah kau berpesan, agar aku melanjutkan kuliahku di tempat ini saja, tempat dimana aku kuliah sekarang. Lantas aku tinggalkan semua kampus yang dulu sempat aku akan belajar disana. Demi kata hati, demi keyakinan, dan tentu atas saranmu.

Minggu ketika kau akan pergi, sepertinya kau akan pergi jauh. Bisa jadi jauh sekedar jarak atau jauh dari hubungan pertemanan kita. Saat itu, ragu sebenarnya ketika aku memutuskan ini padamu. Namun, keinginan kuat, kata hati ini, memaksaku untuk segera memutuskan. Entah dia tahu atau tidak, perasaan ini semakin yakin dan yakin. Mengakhiri semua ini bukan hal yang mudah. Entah berujung keterpaksaan atau keikhlasan, mau tidak mau aku memaksamu dapat menerima keputusanku.

Kamu tak pernah memintaku untuk menunggu. Aku juga tak pernah berjanji akan menantimu. Tapi, aku memutuskan untuk menghapus dirimu dari semua kontakku. Saat itu, aku takut kepada Tuhanku. Aku memaksamu ‘ikhlas’ untuk waktu yang cukup lama. Terkait kau menerima atau tidak. Itu bukan urusanku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita masing-masing. Aku takut perasaan ini semakin jauh sedangkan aku tidak siap dengan segala konsekuensi. Misal, patah hati.

Untukmu, laki-laki itu.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar tanpa kabar darimu. Hingga ada beberapa nama yang sempat singgah, namun tak bisa menghapuskan namamu dalam ingatanku. Seolah-olah, Tuhan memaksaku berulang kali untuk sabar dan sabar menunggu. Ia hadirkan banyak sekali ujian, entah itu ujian dalam bentuk apa saja yang membuatku berbalik arah dan kembali padamu. Ingat lagi padamu. Seolah aku sedang menunggu kedatanganmu, tapi aku sadar, kamu tidak memintaku untuk menunggu juga aku tidak mengatakan aku akan menanti. Lantas, sedang apa aku saat itu?

Masa berganti, tak terasa urusanku disini telah usai. Aku harus melepaskanmu, aku harus mengikhlaskanmu. Bukan berarti aku tak cinta, bukan berarti aku tak mengaharap kamu kembali. Tapi karena kuatnya cinta ini padamu, maka ku ikhlaskan cinta ini kepada Tuhanku. Karena aku percaya, jika memang aku adalah tulang rusukmu, maka inilah skenario Tuhan yang luar biasa, yang sengaja Ia hadirkan untuk menjadi pelangi ketika sang hujan bergegas pergi meninggalkan langit yang sendu. Namun, jika kamu bukanlah takdirku, aku pun tak akan mempermasalahkan itu. Karena sejatinya, Ia tahu benar apa yang terbaik untuk kita.

Aku tak menyesal telah mengenalmu, telah mengukir kenangan panjang bersamamu, hingga kamu berhasil membuatku tak bisa menghapus ingatan tentangmu. Jujur, aku masih sering bertemu denganmu, dalam mimpi. Meskipun begitu, satu hal yang harus kamu tau, aku tak pernah bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakan hal yang sama denganku. Bukan aku tidak peduli, aku hanya tak ingin menghalangi langkahmu yang akan menjadi baik. Lagi-lagi, karena aku percaya, ketentuanNya adalah yang terbaik.

Aku tak lagi risau seperti saat itu, seolah-olah, ketika urusanku disini telah berakhir, maka berakhir pula hiduku. Lantas aku tergesa-gesa memutuskan dan mengabaikan perintah Tuhanku. Sungguh, betapa naif diri ini. Tidak berkaca dan bertindak tegas disaat orang lain mencoba untuk mematahkan prinsip hidupku. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan? Ia sangat menyayangiku. Ia sadarkanku, bahwa aku harus ikuti kata hatiku tanpa malu untuk menjunjung tinggi prinsip hidup yang tak bertentangan dengan aturan Tuhanku.

Untukmu, lelaki itu.
Berjalanlah kemanapun kakimu akan melangkah. Karena aku yakin, jika kamu adalah takdirku, meski kita berbeda arah, maka kita akan bertemu di satu titik. Dimana semesta yang akan menjadi saksi, bahwa tak ada satu hal baik pun yang kita lakukan sia-sia. Percayalah, takdir terbaik akan menghampirimu dan bagaimana nantinya kita, pasrahkan saja kepada Allah, Dia Maha tahu betul apa yang terbaik untuk kita, akan bersama atau tidak, aku sudah tidak peduli seperti dulu. Insyaallah diikhlaskan J

Salam santun,


Venus**

5 comments

Cinta monyetnya awet ya kak...Setuju deh... sama pendapat... kalau sudah takdirnya pasti ketemu lagi kok...

Kaya lagunya Afgan Jodoh Pasti Bertemu...

lagi dan lagi sungguh menginspirasi. jd malu sendiri saya ....🙍🙍🙍

hehehe, jodoh pasti bertemu dek, cuma 2 kemungikan, pertama bertemu di dunia, kedua bertemu di akhirat.

Hehe, terimakasih kak. Semoga bermanfaat ya.

This comment has been removed by the author.


EmoticonEmoticon